Bantah Fahri Hamzah, Istana Tegaskan Jokowi Tak Terganggu dengan KPK

Bantah Fahri Hamzah, Istana Tegaskan Jokowi Tak Terganggu dengan KPK
Jokowi Konpres Revisi UU KPK. ©2019 Liputan6.com/HO/Kurniawan
Merdeka.com - Staf Khusus Presiden bidang Komonikasi Adita Irawati membantah tudingan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang menyebut Presiden Jokowi merasa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah gangguan sehingga menyetujui pembahasan revisi UU tentang KPK. Adita mengatakan sejauh ini Jokowi menilai dan mengapresiasi bahwa kinerja KPK sudah baik.
"Tidak benar (tudingan Fahri Hamzah). Pendapat Presiden Jokowi soal KPK sudah cukup jelas. Dalam berbagai kesempatan beliau menyampaikan apresiasi terhadap kinerja KPK yang dinilai sudah baik," ujar Adita kepada wartawan, Rabu (18/9).
Adita mengatakan Jokowi ingin lembaga antirasuah itu memegang peran sentral dalam pemberantasan korupsi. Untuk itu, KPK harus didukung dengan kewenangan dan kekuatan yang memadai.
"(KPK) harus lebih kuat dibandingkan dengan lembaga lain untuk pemberantasan korupsi. Tujuan revisi KPK untuk memperkuat KPK, bukan sebaliknya," jelasnya.
Meski mendapat tekanan yang kuat dari elemen masyarakat sipil, Presiden Joko Widodo tetap pada keputusannya untuk merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, mengaku tidak kaget dengan sikap Jokowi tersebut.
"Pak Jokowi merasa KPK adalah gangguan," kata Fahri kepada wartawan, Selasa 17 September 2019.
Menurut politikus PKS ini, sikap Jokowi yang merasa diganggu KPK inilah adalah puncak dari sebuah proses panjang sejak awal masa pemerintahannya pada Oktober 2014. Mulai dari memberikan kepercayaan terlalu jauh pada KPK, termasuk dalam penyusunan kabinet, sampai akhirnya Jokowi merasa kerja-kerjanya membangun bangsa sudah diganggu lembaga superbody tersebut.
Reporter: Lisza Egeham [ray]
Share:

Wiranto: KPK Jadi Lembaga Eksekutif, Tapi Bebas dari Pengaruh Kekuasaan

Wiranto: KPK Jadi Lembaga Eksekutif, Tapi Bebas dari Pengaruh Kekuasaan
Merdeka.com - Menko Polhukam Wiranto angkat bicara terkait Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru disahkan oleh DPR RI, Selasa 17 September 2019 kemarin. Salah satunya, yang disinggung adalah posisi KPK sebagai lembaga eksekutif.
Menurut Wiranto, ini hanya menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi. Hal itu memang sudah seharusnya dilakukan.
"Ini sebenarnya sudah mendasari keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017. Keputusan MK itu adalah keputusan yang final dan mengikat," kata Wiranto di kantornya, Jakarta, Rabu (18/9).
Dia menegaskan, keputusan ini bukan mengada-ada. Lantaran hanya menjalankan putusan MK tersebut. "Sehingga memang ini bukan mengada-ada. Hanya melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi," jelas Wiranto.
Meski demikian, masih kata dia, berstatus lembaga eksekutif, tak akan menghilangkan kewenangan KPK sendiri.
"Walaupun, KPK masuk dalam ranah eksekutif atau lembaga pemerintah, tapi dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya ini bebas. Bebas dari pengaruh kekuasaan manapun," ungkap Wiranto.
Sehingga, lanjut dia, tak perlu ada yang merasa khawatir dan resah. "Kita kemudian, tak perlu resah dengan adanya masuk ke dalam rezim pemerintahan ini," pungkasnya.
Perlu diketahui, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017, memuat; "KPK termasuk dalam ranah kekuasaan pemerintahan (eksekutif) yang berciri independen. Walaupun KPK tidak bertanggung jawab kepada Presiden secara langsung, dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan."
Reporter: Putu Merta Surya Putra
Sumber: Liputan6.com [rnd]
Share:

DPR Sebut Alasan Pemberian Remisi untuk Koruptor Dipermudah Karena Hak Narapidana

DPR Sebut Alasan Pemberian Remisi untuk Koruptor Dipermudah Karena Hak Narapidana
Masinton. ©2017 Merdeka.com/Rendi Perdana
Merdeka.com - Revisi UU Pemasyarakatan mempermudah terpidana korupsi, narkotika, terorisme sampai pelanggaran HAM berat mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 yang mengatur hal tersebut tidak berlaku.
"Narapidana itu memiliki hak, sebagai warga binaan yang sudah diputus inkracht oleh Pengadilan. Hak-hak narapidana itu ada beberapa, ada yang terkait dengan haknya termasuk kesehatan, hak bertemu keluarganya termasuk hak dia untuk memperoleh remisi," Anggota Komisi III Masinton Pasaribu saat dikonfirmasi, Rabu (18/9).
Dia mengatakan pemberian hak terpidana dikembalikan ke pengadilan. Tidak lagi perlu rekomendasi penegak hukum terkait. Masinton berdalih karena terpidana memiliki hak dan itu diputuskan oleh pengadilan.
"Tetapi di situ ditegaskan harus melalui pengadilan terhadap kasus-kasus pidana khusus. Jadi pembatasan hak itu tidak boleh di bawah perundang-undangan, pembatasan hak hanya boleh berdasarkan undang-undang atau putusan pengadilan. Itu berlaku universal dalam UUD kan begitu, Pasal 28 itu," kata Masinton saat dihubungi, Rabu (18/9).
Politikus PDI Perjuangan ini mengaku pengembalian keputusan terkait hak terpidana pidana khusus, itu berkaca ke Australia.
"Pada saat kami ke Australia juga gitu. Yang dia terkait pidana khusus yang ingin memperoleh remisi harus berdasarkan pengadilan untuk pidana-pidana khusus," kata Masinton.
Dia juga yakin tidak perlu khawatir dengan efek jera terhadap koruptor. Masinton menyebut, remisi dan pembebasan bersyarat itu akan mengambil banyak pertimbangan. Seperti apakah selama di Lapas berkelakuan baik dan menyesal atau tidak.
"Kalau dia tidak berkelakuan baik atau tidak menampakkan penyesalan dan lain-lain ya dia enggak boleh, enggak akan diberikan pertimbangan remisi untuk diproses pengadilan," kata dia. [ray]
Share:

Nasib Imam Nahrawi: Jadi Tersangka KPK, Dicap Pemberontak di PKB

Nasib Imam Nahrawi: Jadi Tersangka KPK, Dicap Pemberontak di PKB
imam nahrawi. ©2014 merdeka.com/arie basuki
Merdeka.com - KPK Tetapkan Menpora Imam Nahrawi sebagai tersangka suap dana hibah KONI. Dia diduga terima duit panas senilai Rp 26,5 Miliar demi cairkan dana hibah Kemenpora untuk KONI.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, KPK mendapatkan bukti permulaan yang cukup dugaan keterlibatan Imam Nahrawi dalam kasus ini. KPK menduga uang suap itu digunakan untuk kepentingan pribadi Imam.
"Dalam penyidikan tersebut ditetapkan 2 orang tersangka yaitu IMR (Imam Nahrawi) dan asisten pribadi MIU," ujar Alexander dalam konferensi pers di KPK, Jakarta Selatan, Rabu (18/9).
Nasibnya di Kabinet Jokowi-JK tentu jadi taruhan. Beberapa waktu lalu, dia pernah dipanggil oleh Jokowi ke Istana. Panggilan dilakukan sehari setelah Imam bersaksi di sidang Tipikor kasus suap dana hibah KONI.
Usai pertemuan dengan Jokowi, Imam tak banyak bicara. Dia hanya menyatakan silaturahmi biasa saja dengan Presiden.
Nama Imam Nahrawi juga tersingkir dari jabatan stuktur PKB hasil muktamar periode 2019-2024. Ketum PKB terpilih, Muhaimin Iskandar (cak Imin) tak lagi menempatkan mantan sekjen partai itu di struktur.
Bahkan, hubungan tak akurnya Imam dengan Cak Imin santer terdengar jelang muktamar PKB. Imam Nahrawi, bersama Lukman Edy dan Abdul Kadir Karding serta Helmi Faishal Zaini dianggap pemberontak oleh Cak Imin.
"Ini dianggap gerombolan pemberontak," kata Lukman kepada wartawan, Selasa (27/8).
Namun, kubu Muhaimin Iskandar membantah ada pembersihan di internal PKB. Terlebih ada isu pemberontak. Tak adanya kader lama di struktur hanya sebagai rotasi biasa dalam sebuah organisasi. [rnd]
Share:

Kubu Hemas Tuding Pengesahan Tatib DPD Akal-akalan Pendukung OSO

Kubu Hemas Tuding Pengesahan Tatib DPD Akal-akalan Pendukung OSO
Sidang DPD ricuh. ©2019 Merdeka.com/Sania Mashabi
Merdeka.com - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah mengesahkan tata tertib calon pemilihan pimpinan DPD dalam sidang paripurna luar biasa ke-2 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9). Namun, pengesahan tata tertib itu tolak beberapa anggota DPD kubu Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas.
Senator asal Sulawesi Barat Asri Anas, mengatakan pengesahan tata tertib ini cacat formil. Dia juga menilai pengesahan tata tertib ini adalah akal-akal anggota pendukung Ketua DPD Oesman Sapta Odang (OSO).
"Pasal yang pertama, kan ini akal-akalannya Pak OSO dan tim-timnya, satu melanggar UU MD3 membatasi hak orang, masa Bu Ratu engga boleh mencalonkan diri, padahal di KUHP engga boleh mencalonkan kalau dia tersangka," kata Asri.
Asri menilai ada upaya untuk menjegal Hemas maju sebagai Ketua DPD. Hal itu, lanjutnya, terlihat dalam pasal yang mengatur senator yang pernah kena sanksi Badan Kehormatan (BK) tidak diperbolehkan maju dalam bursa pimpinan DPD. Sedangkan Hemas pernah terkena sanksi BK karena pelanggaran etik.
"Itu menjegal Ibu Hemas. Gitu. Jadi itu akal-akalan. Intinya sebenarnya ini semua dibuat oleh grupnya OSO karena OSO masih ingin mengcengkramkan kakinya di DPD," ungkapnya.
Selain itu, terlihat juga ada pembagian zonasi untuk memilih pimpinan DPD. Kata Asri, aturan dulunya tidak ada.
"Ia bagi pemilihan menjadi empat wilayah, coba bayangkan, pimpinan DPD hanya dipilih maluku, Papua, Papua Barat, dan NTT di situlah Pak Nono berada, karena ia takut tidak terpilih jika dipilih secara nasional. Sejak dulu tidak ada aturan seperti itu," ucapnya.
Diketahui, DPD mengesahkan tatib dalam sidang paripurna luar biasa ke-2 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9). Pengesahan itu dilakukan tanpa menanyakan kepada anggota sidang. [eko]
Share:

Logo Dipakai Buat Diskusi yang Dihadiri Bamsoet, Kosgoro 1957 Somasi Etika

Logo Dipakai Buat Diskusi yang Dihadiri Bamsoet, Kosgoro 1957 Somasi Etika
kosgoro somasi etika. ©2019 Merdeka.com/genantan
Merdeka.com - Beredar undangan dari Eksponen Ormas Trikarya Golkar (Etika) mengadakan diskusi panel bertajuk 'Merawat Golkar Sebagai Rumah Kebangsaan (Indonesia)' di Kudus Hall, Hotel Sultan, Jakarta pada Jumat (20/8) mendatang.
Dalam gambar undangan, Etika mencantumkan logo organisasi sayap partai Golkar yaitu Soksi, Kosgoro 1957 dan MKGR. Di acara itu, tertera gambar Caketum Golkar Bambang Soesatyo sebagai pembicara utama.
Kosgoro 1957 pun melakukan somasi terbuka terhadap Etika. Ketua Bidang Hukum dan HAM Kosgoro 1957, Muslim Jaya Butar Butar menyebut pencatuman logo Kosgoro dilakukan tanpa izin.
"Bahwa pemakaian logo ormas Kosgoro 1957 dalam undangan tersebut di atas, tanpa izin tanpa hak dan bersifat melawan hukum," ujar Muslim saat konferensi pers di kantor DPD Partai Golkar DKI, Jakarta, Rabu (18/9).
"Bahwa logo Ormas Kosgoro 1957 terdaftar di kementerian hukum dan HAM manusia dilindungi oleh undang-undang nomor 24 tahun 2014 tentang Hak Cipta," tambahnya.
Dia menegaskan, bahwa tidak dibenarkan menggunakan logo ormas Kosgoro 1957 dalam bentuk kegiatan apapun dan siapapun tanpa persetujuan dari Ketua Umum pimpinan pusat kolektif (PPK) Kosgoro 1957 yaitu Agung Laksono.
"Bahwa penggunaan logo kosgoro 1957 tanpa izin tanpa hak adalah perbuatan melawan hukum yang tidak dapat dibenarkan dan melanggar pasal 112 dan pasal 113 UU nomor 24 tahun 2014 tentang hak cipta," katanya.
©2019 Merdeka.com
Lebih lanjut, ia meminta Etika untuk menghentikan, menghapus dan menarik undangan dalam bentuk apapun yang menggunakan logo ormas Kosgoro 1957.
"Jika dalam waktu 2 x 24 jam masih beredar undangan memakai logo Ormas Kosgoro 1957 dan masih ditemukan acara menggunakan logo Ormas Kosgoro 1957 maka kami akan melakukan tindakan tegas dengan melaporkan kepada pihak berwajib," tukasnya.
Di kesempatan sama, Ketua Kosgoro 1957 DKI Jakarta, Slamet Riyadi tak menyoalkan bila ada kader Kosgoro yang mempunyai arah politik lain untuk kepentingan Munas Golkar. Slamet hanya kesal logo Kosgoro di klaim dalam undangan tersebut.
"Soal person atau orang orang kader kosgoro ikut serta, pasti ada perbedaan pendapat ya, khusus itu kita akan lakukan aturan internal yang sesuai," tandasnya.
Untuk diketahui, selain Bambang Soesatyo, Etika juga mengundang pembicara lain seperti Prof Salim Said, Prof Effendi Gazali, M Qodari, dan Zainal Bintang sebagai moderator. [rnd]
Share:

BK DPD Bantah Jegal GKR Hemas jadi Pimpinan Senator

BK DPD Bantah Jegal GKR Hemas jadi Pimpinan SenatorSidang DPD ricuh. ©2019 Merdeka.com/Sania Mashabi
Merdeka.com - Ketua Badan Kehormatan (BK) DPD Mervin Sadipun Komber membantah ingin menjegal Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas untuk jadi pimpinan DPD lewat pengesahan tata tertib. Hal ini, ia katakan untuk merespon tudingan dari Asri Anas yang menyebut pengesahan tata tertib dalam Sidang Paripurna ke-2 adalah upaya menjegal Hemas.
"Tidak ada jegal menjegal," Mervin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9).
Mervin menegaskan, peraturan tidak bolehnya senator yang punya rekam jejak pelanggaran etik di BK adalah keputusan bersama. Kata dia, saat rapat panitia musyawarah (panmus) tidak ada anggota yang menolak.
"Saat pembahasan itu tidak ada yang menolak ini, mereka menerima," ujarnya.
Senator asal Papua Barat itu juga mengatakan, pencantuman syarat tersebut juga murni agar pimpinan DPD ke depan memiliki integritas. "Ini kita bicara secara etik dan ini keputusan bersama," ucapnya.
Diberitakan, DPD telah mengesahkan tata tertib calon pemilihan pimpinan DPD dalam sidang paripurna luar biasa ke-2 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9). Namun, pengesahan tata tertib itu ditolak beberapa anggota DPD kubu Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas.
Senator asal Sulawesi Barat Asri Anas, mengatakan pengesahan tata tertib ini cacat formil. Dia juga menilai pengesahan tata tertib ini adalah akal-akalan anggota pendukung Ketua DPD Oesman Sapta Odang (OSO).
"Pasal yang pertama, kan ini akal-akalannya Pak OSO dan tim-timnya, satu melanggar UU MD3 membatasi hak orang, masa Bu Ratu enggak boleh mencalonkan diri, padahal di KUHP enggak boleh mencalonkan kalau dia tersangka," kata Asri. [rnd]
Share:

Soal UU KPK, DPR dan Pemerintah Dianggap Pecahkan Rekor MURI

Soal UU KPK, DPR dan Pemerintah Dianggap Pecahkan Rekor MURI
Rapat Paripurna DPR dan DPD. ©2019 Liputan6.com/JohanTallo
Merdeka.com - Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, menyarankan kepada Museum Rekor Indonesia (MURI) memberikan penghargaan kepada DPR dan pemerintah. Sebab, keduanya sukses mengesahkan Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dalam waktu singkat.
Hal itu disampaikan Charles dalam diskusi bertajuk 'Jalan Inkonstitusional Revisi UU KPK' di Kantor Kode Inisiatif, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (18/9).
"Saya usul Pak Jaya Suprana nanti untuk memberikan rekor Muri kepada DPR dan pemerintah dalam rangka ini sebagai pembahasan undang-undang tercepat sepanjang sejarah legislasi Indonesia," kata Charles.
Bahkan, kata Charles, Guinness World of Record bisa melakukan penilaian terhadap cepatnya pengesahan Revisi UU KPK. .
"Saya mengusulkan kepada MURI, jika perlu Guinness World of Record untuk memberikan penghargaan di pembahasan UU tercepat setelah UU Ormas," lanjut dia.
Charles pun mencium aroma inkonstitusional di tengah pesatnya legislasi Revisi UU KPK. Charles menduga, proses legislasi aturan tersebut cacat formal.
Menurutnya, Revisi UU KPK tidak pernah masuk dalam Prolegnas tahunan DPR 2019. Kemudian, KPK tidak pernah diundang membahas Revisi UU KPK. Terakhir, pengesahan Revisi UU KPK hanya dihadiri oleh seratus anggota DPR di dalam Rapat Paripurna.
"Sudah tidak ada bantahan lagi bahwa ini suatu proses yang sangat catat formal, bagi kita ini inkonstitusional," tandasnya. [rnd]
Share:

RKUHP: Publikasi Sidang Tertutup Bisa Dipidana

RKUHP: Publikasi Sidang Tertutup Bisa Dipidana
Gedung DPR. Merdeka.com / Dwi Narwoko
Merdeka.com - DPR dan pemerintah sudah menyepakati seluruh Revisi Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) pada Rabu (18/9). Hasil kesepakatan itu rencananya akan dibawa ke pengambilan keputusan tingkat II dalam rapat paripurna.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menegaskan, tidak ada lagi yang perlu khawatirkan soal RKUHP. Terutama terkait delik contempt of crout di pasal 281 huruf C dalam tentang gangguan dan penyesatan dalam pengadilan.
Pasal itu awalnya dikhawatirkan bisa membatasi kebebasan pers. Karena dalam pasal itu tertulis jika tanpa izin pengadilan merekam, mempublikasikan secara langsung, atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidangan akan dikenakan pidana.
Arsul yang juga anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP menjelaskan, pihaknya sudah memberikan penjelasan tambahan untuk pasal tersebut. Dimana nantinya yang dilarang untuk disebar luaskan adalah persidangan tertutup atau persidangan yang tidak diizinkan oleh hakim untuk dipublikasikan.
"Itu kita kasih penjelasan bahwa yang dimaksud proses persidangan dalam pasal tsb adalah proses persidangan yang tertutup," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9).
Dia mencontohkan, jika nantinya hakim menyebut proses persidangan tidak boleh diliput, maka awak media tidak boleh meliput persidangan tersebut.
"Tapi kalau hakimnya nggak ngomong apa-apa, ya siarkan ke seantero jagad ya silakan saja," ucapnya. [rnd]
Share:

BK DPD Bantah Jegal GKR Hemas jadi Pimpinan Senator

BK DPD Bantah Jegal GKR Hemas jadi Pimpinan Senator
Sidang DPD ricuh. ©2019 Merdeka.com/Sania Mashabi
Merdeka.com - Ketua Badan Kehormatan (BK) DPD Mervin Sadipun Komber membantah ingin menjegal Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas untuk jadi pimpinan DPD lewat pengesahan tata tertib. Hal ini, ia katakan untuk merespon tudingan dari Asri Anas yang menyebut pengesahan tata tertib dalam Sidang Paripurna ke-2 adalah upaya menjegal Hemas.
"Tidak ada jegal menjegal," Mervin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9).
Mervin menegaskan, peraturan tidak bolehnya senator yang punya rekam jejak pelanggaran etik di BK adalah keputusan bersama. Kata dia, saat rapat panitia musyawarah (panmus) tidak ada anggota yang menolak.
"Saat pembahasan itu tidak ada yang menolak ini, mereka menerima," ujarnya.
Senator asal Papua Barat itu juga mengatakan, pencantuman syarat tersebut juga murni agar pimpinan DPD ke depan memiliki integritas. "Ini kita bicara secara etik dan ini keputusan bersama," ucapnya.
Diberitakan, DPD telah mengesahkan tata tertib calon pemilihan pimpinan DPD dalam sidang paripurna luar biasa ke-2 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/9). Namun, pengesahan tata tertib itu ditolak beberapa anggota DPD kubu Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas.
Senator asal Sulawesi Barat Asri Anas, mengatakan pengesahan tata tertib ini cacat formil. Dia juga menilai pengesahan tata tertib ini adalah akal-akalan anggota pendukung Ketua DPD Oesman Sapta Odang (OSO).
"Pasal yang pertama, kan ini akal-akalannya Pak OSO dan tim-timnya, satu melanggar UU MD3 membatasi hak orang, masa Bu Ratu enggak boleh mencalonkan diri, padahal di KUHP enggak boleh mencalonkan kalau dia tersangka," kata Asri. [rnd]
Share:

Recent Posts